Di sebuah ruang rapat yang tidak terlalu besar, empat orang tengah berdiskusi mengenai peluncuran produk digital terbaru.
Pak Surya (58), seorang senior manager, menyarankan strategi distribusi lewat jaringan yang sudah terbangun sejak dua dekade terakhir.
Intan (28), karyawan millennial, langsung membuka laptop dan menunjukkan statistik tren pemasaran melalui TikTok.
Bu Rika (45) mencoba menengahi dengan mengingatkan pentingnya konsistensi brand, sementara
Rafi (23), seorang fresh graduate Gen Z, bertanya: “Apakah ada ruang buat konsep gamifikasi dalam promosi ini?”
Diskusi itu tidak tegang, tapi juga tidak selalu mulus. Ide bersilang. Pendapat bertabrakan. Tapi saat mereka bisa saling mendengar, proyek itu justru menjadi salah satu yang paling sukses tahun itu.
Inilah wajah tim kerja masa kini: lintas usia, lintas generasi, lintas cara berpikir. Dan seni memimpinnya adalah tantangan yang nyata.
Kenapa Generasi di Tempat Kerja Perlu Dikelola Secara Sadar?
Hari ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah tenaga kerja modern, ada empat generasi aktif bekerja secara bersamaan:
- Baby Boomers (lahir sebelum 1965),
- Generasi X (1965–1980),
- Milenial / Gen Y (1981–1996),
- Gen Z (1997 dan setelahnya).
Setiap generasi dibentuk oleh pengalaman sosial, teknologi, dan ekonomi yang berbeda. Cara mereka memandang kerja, loyalitas, teknologi, hingga komunikasi pun sangat beragam.
Menurut laporan SHRM (2023) dan PwC Future of Work, organisasi yang berhasil mengelola keragaman usia dengan baik:
- Memiliki kolaborasi antar tim lebih efektif,
- Mampu menciptakan lingkungan kerja yang inklusif,
- Dan lebih adaptif terhadap perubahan pasar karena ide datang dari spektrum yang lebih luas.
Tantangan Umum dalam Tim Multigenerasi
- Berbeda Gaya Komunikasi
Boomers cenderung suka komunikasi tatap muka atau email formal. Gen Z lebih cepat merespons via chat, emoji, bahkan voice note. Jika tidak disepakati, komunikasi bisa jadi sumber salah paham.
- Berbeda Persepsi soal Karier dan Loyalitas
Generasi lama mungkin melihat loyalitas sebagai nilai utama, sementara generasi baru lebih fleksibel: loyal selama merasa berkembang.
- Berbeda Cara Belajar dan Adaptasi Teknologi
Milenial dan Gen Z cepat dalam mencoba tools baru. Sementara itu, sebagian Generasi X dan Boomers lebih nyaman pada pola kerja yang sudah teruji.
Namun justru di sinilah peluangnya: keragaman ini bisa menjadi kekuatan jika dikelola dengan empati dan struktur yang tepat.
Strategi untuk Mengelola Tim Multigenerasi secara Harmonis
1. Bangun Budaya Saling Belajar Antar Generasi
Alih-alih menempatkan senior sebagai satu-satunya sumber ilmu, buat ruang pertukaran dua arah:
- Reverse mentoring: Gen Z mengajarkan tren digital atau teknologi kepada generasi senior.
- Traditional mentoring: Senior membimbing dalam berpikir strategis dan komunikasi lintas divisi.
“Setiap generasi punya pengalaman. Bedanya cuma cara mengemas dan menyampaikannya.”
2. Sesuaikan Gaya Komunikasi yang Fleksibel
Buat kesepakatan gaya komunikasi tim: kapan pakai chat informal, kapan perlu email resmi, kapan perlu bertemu langsung.
Gunakan kombinasi tools seperti Slack, Zoom, dan Notion, sambil tetap membuka ruang dialog offline yang lebih personal.
3. Desain Program Pengembangan yang Multigenerasi
Pelatihan di tempat kerja harus mempertimbangkan gaya belajar berbeda:
- Gen Z menyukai microlearning dan video interaktif,
- Milenial suka blended learning,
- Gen X & Boomers lebih nyaman dengan diskusi mendalam atau studi kasus.
Jangan paksa semua belajar dengan cara yang sama.
4. Berdayakan Setiap Orang Berdasarkan Nilai, Bukan Usia
Fokus pada kontribusi, bukan tahun lahir. Hindari stereotip seperti “anak muda kurang sabar” atau “senior sulit berubah”.
Pemimpin perlu melihat kekuatan setiap individu berdasarkan keterampilan, bukan label generasi.
Menjadi Jembatan, Bukan Wasit
Pemimpin dalam tim multigenerasi harus:
- Memfasilitasi dialog antar usia tanpa menghakimi,
- Mendorong empati melalui kegiatan lintas angkatan,
- Dan membangun struktur kerja yang inklusif dan adil.
Pemimpin yang hanya mengatur, tapi tidak membangun relasi antar generasi, akan membuat tim kehilangan energi kolektifnya.
Mengelola tim multigenerasi bukan soal mencari siapa yang paling benar, tetapi menyatukan sudut pandang menjadi kekuatan kolaborasi.
Di tengah perbedaan gaya kerja, bahasa, dan ekspektasi, ada satu hal yang menyatukan semua: rasa dihargai dan diberi ruang untuk berkembang.
Apakah saat ini setiap generasi di tim Anda merasa didengarkan, dipahami, dan punya tempat untuk berkontribusi tanpa harus mengubah jati dirinya?
Referensi
- SHRM. (2023). Managing the Multigenerational Workplace.
- PwC. (2024). Future of Work: A Multigenerational Perspective.
- Gallup. (2023). What Gen Z and Millennials Want at Work.
- Harvard Business Review. (2022). Bridging Generational Differences in the Workplace.
- Deloitte. (2023). Leading Through Generational Change.
Penulis: Irfiani Triastari – Research & Development, Insight Indonesia