Di tengah lingkungan kerja yang makin dinamis, kemampuan memberi dan menerima umpan balik (feedback) bukan lagi sekadar soft skill tambahan, melainkan kunci untuk membangun budaya kerja yang produktif dan kolaboratif. Feedback yang disampaikan secara tepat terbukti meningkatkan keterlibatan karyawan, mempercepat pengembangan diri, dan meminimalisasi konflik tak perlu.
Namun, studi dari Harvard Business Review (HBR, 2019) menunjukkan bahwa 37% manajer merasa tidak nyaman memberikan umpan balik langsung, terutama jika bersifat korektif. Di sisi lain, survei Gallup (2022) menemukan bahwa 65% karyawan menginginkan lebih banyak feedback dari atasan mereka—dan bukan hanya saat penilaian tahunan.
Feedback yang Baik, Bukan Basa-Basi
Feedback yang efektif adalah yang spesifik, terarah pada tindakan, dan disampaikan dengan niat membangun. Bukan sekadar “kerjamu bagus” atau “tingkatkan lagi”, tapi disertai dengan konteks: apa yang dilakukan, mengapa itu berdampak, dan bagaimana bisa ditingkatkan.
Psikolog organisasi Stone & Heen (2014) dalam bukunya Thanks for the Feedback menekankan pentingnya pemilahan jenis feedback: ada yang bersifat evaluatif (menilai hasil), coaching (mengarahkan peningkatan), dan appreciation (menguatkan relasi). Campur aduk ketiganya bisa membuat pesan tak sampai, bahkan kontraproduktif.
Seni Memberikan Feedback
Ada beberapa prinsip kunci yang bisa dipraktikkan oleh para pemimpin maupun rekan kerja:
- Tepat waktu: Jangan menunggu hingga evaluasi tahunan. Feedback yang diberikan sesegera mungkin setelah perilaku muncul lebih mudah diterima dan direspons.
- Gunakan data dan pengamatan: Hindari opini yang tidak berbasis fakta. Gunakan contoh nyata, hasil kerja, atau perilaku yang teramati.
- Pisahkan pribadi dan perilaku: Kritiklah tindakan, bukan orangnya. Kalimat seperti “Kamu malas” sebaiknya diganti menjadi “Aku perhatikan dalam dua minggu ini kamu beberapa kali terlambat mengumpulkan laporan.”
- Tanyakan umpan balik balik: Feedback bersifat dua arah. Setelah memberi feedback, tanyakan: “Bagaimana pendapatmu tentang itu?”
Menerima Feedback Bukan Berarti Pasrah
Dari sisi penerima, terbuka terhadap feedback bukan berarti harus selalu setuju. Dibutuhkan kedewasaan emosional untuk memilah: mana yang benar, mana yang perlu waktu, dan mana yang perlu klarifikasi.
Menurut Center for Creative Leadership (2020), pemimpin yang mampu mengelola feedback dengan baik lebih cenderung naik jabatan dan mempertahankan kinerja tinggi. Kuncinya adalah:
- Jangan langsung defensif. Dengarkan dulu sampai selesai.
- Ajukan klarifikasi. Tanyakan jika ada bagian yang tidak jelas.
- Tunjukkan respons. Bila memungkinkan, praktikkan perubahan yang disarankan dan beri tahu hasilnya.
Di salah satu perusahaan startup di Jakarta, manajer tim kreatif mulai menerapkan sesi weekly feedback circle selama 20 menit setiap Jumat. Tidak hanya atasan ke bawahan, tapi juga rekan sejawat bisa memberi umpan balik. Hasilnya, dalam 3 bulan, skor keterbukaan tim dalam survei internal naik dari 67% ke 91%.
Praktik ini menjadi contoh bahwa feedback bukan hanya proses top-down, melainkan budaya yang bisa diciptakan bersama.
Di era kerja hybrid, lintas generasi, dan serba cepat, komunikasi yang terbuka adalah oksigen bagi tim yang ingin bertumbuh. Feedback yang efektif akan membantu individu dan organisasi menyatu dalam arah yang sama—lebih kuat, lebih tanggap, dan lebih manusiawi.
Apakah Anda sudah memberi dan menerima feedback hari ini?
Referensi:
- Gallup. (2022). The State of the Global Workplace.
- Harvard Business Review. (2019). Why Feedback Fails.
- Stone, D., & Heen, S. (2014). Thanks for the Feedback: The Science and Art of Receiving Feedback Well.
- Center for Creative Leadership. (2020). How Leaders Grow Today: Accepting Feedback.
- SHRM. (2023). Building a Feedback Culture at Work.
- CIPD. (2021). Effective Feedback in Performance Management.
Penulis: Irfiani Triastari – Research & Development, Insight Indonesia
