Ketika para pemuda dari berbagai penjuru nusantara berkumpul di Batavia hampir seabad lalu, mereka tak hanya sedang membicarakan nasib bangsanya, tapi juga meletakkan fondasi dari apa yang kini kita sebut sebagai “identitas Indonesia.” Dalam kongres itu, mereka mengikrarkan tiga kalimat sederhana namun revolusioner: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa — Indonesia.r
Hari ini, Sumpah Pemuda bukan hanya sekadar upacara seremonial tahunan. Ia adalah pengingat kolektif bahwa kesatuan bukan berarti keseragaman. Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia (SDM), semangat ini seharusnya tercermin dalam bagaimana negara, lembaga pendidikan, dan dunia kerja memberi ruang yang sama untuk setiap anak bangsa — tanpa terkecuali.
Namun kenyataannya, kesenjangan masih nyata. Akses terhadap pekerjaan berkualitas, pelatihan keterampilan, bahkan kesempatan untuk dipromosikan, seringkali masih ditentukan oleh siapa kita — bukan oleh kompetensi kita. Latar belakang sosial-ekonomi, tempat tinggal, jenis kelamin, atau bahkan bahasa daerah, secara diam-diam masih menjadi “pagar tak kasat mata” dalam sistem SDM kita hari ini.
HR Sebagai Penjaga Nilai Persatuan
Di sinilah peran HR menjadi sangat penting. Lebih dari sekadar pengelola rekrutmen dan administrasi karyawan, divisi HR di era modern harus menjadi penjaga nilai-nilai inklusi dan kesetaraan, yang justru menjadi inti dari Sumpah Pemuda itu sendiri. Jika ikrar tahun 1928 menyatukan identitas, maka HR hari ini harus menyatukan peluang.
HR yang progresif tidak boleh lagi hanya bicara soal “talent” secara netral. Ia harus sadar bahwa sebagian besar “talenta terbaik” belum tentu terlihat di atas kertas — karena banyak di antara mereka yang tak pernah diberi akses pada peluang yang setara sejak awal. Maka peran HR bukan hanya mencari yang terbaik, tapi juga menciptakan ekosistem agar semua bisa menjadi yang terbaik.
Beberapa langkah konkret bisa menjadi refleksi kita bersama:
- Memberi peluang pelatihan kepada pemuda-pemudi dari daerah tertinggal,
- Menghilangkan bias dalam seleksi rekrutmen berbasis kampus ternama saja,
- Merancang jalur karier yang sensitif gender, budaya, dan kebutuhan khusus,
- Mengintegrasikan nilai-nilai keberagaman lokal ke dalam pelatihan perusahaan.
SDM Berkualitas Tidak Lahir dari Ketimpangan
Menurut laporan Indonesia Human Capital Outlook 2024 yang dirilis oleh Kementerian PPN/Bappenas, lebih dari 60% pemuda usia produktif di Indonesia belum mendapatkan akses pelatihan kerja formal yang sesuai dengan kebutuhan industri masa kini. Angka ini lebih tinggi di wilayah timur dan kawasan luar Jawa. Ini adalah fakta yang seharusnya mengusik nurani kita bersama — karena bagaimana mungkin Indonesia bisa menjadi negara maju jika SDM-nya tumbuh dalam ketimpangan?
Kesenjangan ini diperparah oleh tren sentralisasi akses pendidikan dan pelatihan kerja di kota besar. Padahal, sejarah mencatat bahwa pemuda-pemuda dari desa dan pinggiranlah yang dulu menggugah semangat kebangsaan lewat Sumpah Pemuda. Maka sudah saatnya, semangat ini dikembalikan ke akar: memberi ruang dan suara bagi semua, bukan hanya sebagian.
Menyatukan Indonesia Lewat Dunia Kerja
Dunia kerja adalah ruang baru pertemuan antar identitas. Di dalamnya ada Jawa, Bugis, Minang, Ambon, Dayak, Tionghoa, dan Arab. Ada lulusan SMA dari Kupang, ada sarjana Teknik dari Aceh, dan ada barista penyandang disabilitas dari Makassar. Dunia kerja adalah Indonesia mini. Maka bagaimana kita mengelola SDM hari ini adalah cermin dari masa depan bangsa ini.
Jika Sumpah Pemuda dulunya diikrarkan oleh pelajar dan mahasiswa, maka kini HR-lah yang memegang obor semangat itu. HR harus memastikan bahwa organisasi — apapun skalanya — tidak menutup pintu bagi siapa pun yang memiliki potensi dan semangat belajar.
Inilah bentuk baru patriotisme: menciptakan sistem SDM yang adil, setara, dan manusiawi. Karena persatuan yang sejati bukanlah seragam, tetapi keadilan bagi semua untuk tumbuh.
Penulis: Irfiani Triastari – Research & Development, Insight Indonesia
