“Karena tim yang hebat bukan dibentuk sekali, tapi dibangun terus-menerus lewat proses belajar“
Beberapa tahun terakhir, kami di tim Insight Indonesia mendampingi sejumlah klien UMKM dalam program pengembangan tim. Di awal, banyak di antara mereka yang mengaku belum terlalu familiar dengan istilah budaya belajar. Ada yang bilang, “Kami sih masih jalan saja seperti biasa,” atau, “Tim saya belum terbiasa ikut pelatihan, Mbak.”
Namun seiring berjalannya waktu, sesuatu mulai berubah. Salah satu owner UMKM F&B bercerita bahwa sejak ia mengajak timnya ikut sesi pelatihan internal dua bulan sekali, semangat kerja anak-anaknya meningkat. Mereka mulai aktif berdiskusi, saling berbagi pengalaman, bahkan ada yang dengan inisiatif belajar sendiri di luar jam kerja dan mempresentasikannya ke tim.
Satu kalimat yang saya ingat dari beliau adalah:
“Dulu saya pikir belajar itu buat orang kantor besar. Sekarang saya lihat sendiri, belajar itu yang bikin tim saya tumbuh.”
Cerita ini membuat saya percaya, budaya belajar bisa tumbuh di mana saja—asal ada niat, ruang, dan keberanian untuk memulainya.
Apa Itu Budaya Belajar?
Budaya belajar (learning culture) adalah kondisi di mana proses belajar menjadi bagian dari kehidupan kerja sehari-hari, bukan sekadar acara tahunan atau kegiatan formal. Ia bukan hanya soal training, tetapi mencakup pola pikir: terbuka terhadap masukan, bersedia tumbuh, dan berani mencoba hal baru.
Menurut laporan Harvard Business Publishing Corporate Learning (2021), perusahaan dengan budaya belajar yang kuat memiliki:
- 30% lebih cepat berinovasi,
- 46% lebih mungkin menjadi market leader, dan
- Tingkat retensi karyawan yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang tidak punya budaya tersebut.
Lebih lanjut, penelitian dari Center for Creative Leadership (CCL, 2020) menemukan bahwa organisasi dengan budaya belajar aktif memiliki tingkat agility organisasi 52% lebih tinggi dibanding organisasi yang hanya mengandalkan pelatihan formal.
Mengapa Banyak Organisasi Gagal Membangun Budaya Belajar?
Sering kali karena belajar dianggap sebagai “agenda tambahan” yang dipisahkan dari pekerjaan utama. Satu kali pelatihan, satu kali workshop, lalu selesai. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh Watkins & Marsick (2013) dalam penelitiannya, budaya belajar yang sehat tidak dibentuk oleh acara besar, tetapi oleh kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten.
Tantangan umum yang sering kami temui di lapangan antara lain:
- Atasan tidak menjadi teladan dalam belajar,
- Tidak ada ruang aman untuk bertanya atau mengakui kekurangan,
- Belajar dianggap “mengganggu kerja”, bukan bagian dari kerja itu sendiri,
- Tidak ada sistem tindak lanjut setelah pelatihan dilakukan.
Dari Komitmen ke Kebiasaan, Bagaimana Memulai Budaya Belajar?
1. Mulai dari Hal Kecil, Tapi Konsisten
Tidak perlu langsung membuat akademi internal. Mulailah dari diskusi tim 15 menit per minggu. Bisa dengan membahas artikel, video pendek, atau refleksi proyek terakhir.
2. Pemimpin Belajar Duluan
Pemilik usaha, manajer, dan supervisor adalah “pembawa budaya”. Ketika mereka belajar dan berbagi prosesnya, tim pun akan merasa aman untuk tumbuh bersama.
3. Tautkan Belajar ke Masalah Nyata
Belajar menjadi bermakna ketika langsung relevan. Misalnya: pelatihan komunikasi → dipraktikkan saat menangani komplain pelanggan. Belajar harus terasa “nyambung”.
4. Ciptakan Ruang Aman untuk Gagal dan Bertanya
Budaya belajar tumbuh dari keberanian untuk salah dan mencoba lagi. Tim yang suportif akan mendorong keberanian bertumbuh, bukan menakut-nakuti kesalahan.
UMKM Bisa Jadi Teladan
Saya teringat satu klien Insight yang bergerak di bidang makanan. Di awal, tim internal mereka hanya terdiri dari empat orang yang mengerjakan banyak hal sekaligus. Tidak ada SOP, tidak terbiasa ikut pelatihan, bahkan sulit menentukan jadwal diskusi bersama.
Namun dalam enam bulan, perubahan terjadi perlahan tapi nyata. Mereka mulai membuat daftar evaluasi harian, menjadwalkan sesi sharing mingguan, hingga menetapkan mentor internal antar-divisi. Bahkan kini, dua orang dari tim tersebut menjadi fasilitator untuk usaha kecil lain di komunitasnya.
Mereka mungkin belum punya sistem canggih. Tapi mereka sudah punya sesuatu yang lebih penting: kemauan untuk belajar bersama dan menjadikannya kebiasaan.
Budaya Belajar adalah Napas Pertumbuhan
Tidak ada tim hebat yang terbentuk karena satu pelatihan. Tim yang tangguh tumbuh karena belajar menjadi bagian dari napas keseharian. Mereka dibentuk oleh proses, diskusi terbuka, rasa ingin tahu, dan ruang untuk mencoba ulang.
Dan kabar baiknya: budaya belajar bisa tumbuh di mana saja, di kantor kecil, di dapur produksi, di ruang rapat sederhana, bahkan di obrolan warung kopi setelah jam kerja.
Selama ada komitmen, maka belajar akan menjadi kebiasaan.Dan kebiasaan itulah yang kelak membangun organisasi yang tangguh, berdaya, dan relevan.
Kami percaya bahwa setiap organisasi, besar atau kecil bisa bertumbuh jadi tempat kerja yang belajar, berkembang, dan berdampak.
Referensi:
- Harvard Business Publishing Corporate Learning. (2021). The State of Learning Culture in the Workplace
- Center for Creative Leadership (CCL). (2020). Developing a Learning Culture in Organizations
- Watkins, K. E., & Marsick, V. J. (2013). Building the Learning Organization: A New Role for Human Resource Developers. Advances in Developing Human Resources
- Deloitte (2020). Creating a Learning Culture for the Future of Work
Penulis: Irfiani Triastari – Research & Development, Insight Indonesia